Sekarang diakui secara luas bahwa HIV dan hak asasi manusia terkait erat. Pelanggaran hak asasi manusia adalah salah satu pendorong epidemi HIV dan meningkatkan dampaknya. Pada saat yang sama, HIV merusak kemajuan dalam realisasi hak asasi manusia.
Di bawah hukum dan perjanjian hak asasi manusia internasional, dan kewajiban internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan, setiap orang memiliki hak untuk kesehatan dan hak untuk mengakses layanan HIV dan layanan kesehatan lainnya. Orang-orang juga memiliki hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan hak atas martabat.
Namun, banyak orang terus menghadapi hambatan terkait hak asasi manusia untuk layanan kesehatan yang penting dan seringkali menyelamatkan jiwa. Hambatan-hambatan ini muncul dari undang-undang dan praktik diskriminatif yang terkait dengan status kesehatan masyarakat, identitas gender, orientasi seksual dan perilaku seksual. Orang-orang yang menghadapi hambatan ini sering kali paling terpinggirkan dan terstigmatisasi dalam masyarakat, dan yang paling rentan terhadap HIV.
Ini menjadikan perlindungan, promosi, edukasi, dan pemenuhan hak asasi manusia penting untuk memastikan mereka dapat mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan, termasuk layanan terhadap HIV dan AIDS.
Pelanggaran HAM dalam konteks HIV dapat terjadi dalam berbagai bentuk.
Ini jelas dapat memperburuk dampak HIV, meningkatkan kerentanan terhadap HIV, dan secara lebih luas melemahkan respons terhadap epidemi.
Kriminalisasi terhadap LGBTIQ
Pada tahun 2018, 67 negara di seluruh dunia mengkriminalisasi perilaku sesama jenis, di mana delapan memberlakukan hukuman mati. Kriminalisasi terhadap homoseksualitas dan perilaku sesama jenis mendorong LSL (lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki) berkomunitas sembunyi-sembunyi, sehingga menyulitkan mereka untuk mengakses kondom, pelumas, konseling dan layanan HIV lainnya. Misalnya, di bagian Karibia di mana homoseksualitas dikriminalisasi, 25% LSL diperkirakan hidup dengan HIV, angka yang jauh lebih tinggi daripada di negara-negara yang tidak mengkriminalisasi perilaku seks yang sama. Para peneliti mewawancarai perempuan transgender dari Jamaika mendapati mereka yang telah ‘dipenjara’ karena identitas gendernya secara substansial lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan tes HIV.
Undang-undang ini juga membuat sangat sulit bagi LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang menawarkan layanan kesehatan seksual dan HIV untuk menjangkau LSL karena pekerjaan mereka membuat mereka bertentangan dengan undang-undang yang melarang perilaku sesama jenis.
Di Indonesia, tindakan keras sistematis terhadap hak-hak komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), yang dimulai pada tahun 2016, telah membuat jauh lebih sulit untuk menjangkau kumonitas dengan layanan kesehatan.
Ini terutama karena penggerebekan yang berulang-ulang di tempat-tempat di mana para petugas penjangkauan dan petugas kesehatan melakukan pemeriksaan kesehatan seksual secara mobile di tempat-tempat dimana komunitas LSL dan gay biasa berkumpul seperti panti pijat, bar dan sauna.
Sekarang, selain klub dan sauna, petugas LSM juga mencoba melakukan penjangkauan dasar di tempat-tempat umum yang bukan berbasis komunitas. Dan tetap saja, meskipun kita bisa menjangkau dan memberikan edukasi terkait kesehatan seksual mereka tidak mau mengambil kondom dan pelumas yang ditawarkan karena takut dilihat masyarakat umum di sekitar tempat itu.
Stigma dan Diskriminasi
Orang yang hidup dengan HIV dan keluarga mereka dapat mengalami stigma dan diskriminasi yang terkait dengan HIV.
Ini juga merupakan kasus bagi orang-orang yang paling terdampak oleh HIV (yang lebih dikenal sebagai ‘populasi kunci’) seperti pekerja seks, LSL, transgender dan orang yang menggunakan narkoba.
Beberapa stigma dan diskriminasi ini terkait dengan HIV, beberapa di antaranya terkait dengan identitas mereka dan pengalaman orang tersebut. Ini menciptakan situasi di mana orang-orang dari populasi kunci menghadapi berbagai lapisan diskriminasi, stigma dan pelecehan, yang menciptakan hambatan kompleks untuk mengakses layanan kesehatan.
Dampak stigma dan diskriminasi terkait HIV masih jauh. Menurut data yang dikumpulkan oleh negara-negara yang memantau diskriminasi terkait perawatan kesehatan, satu dari lima orang yang hidup dengan HIV telah ditolak layanan kesehatannya, termasuk layanan keluarga berencana atau perawatan gigi. Ini mencakup sekitar satu dari tiga perempuan HIV-positif yang telah mengalami setidaknya satu bentuk diskriminasi yang berkaitan dengan kesehatan seksual dan reproduksi mereka.
Penguatan Kapasitas Hukum
Beberapa contoh keberhasilan program HIV berbasis hak asasi manusia adalah dengan melatih teman sebaya orang yang hidup dengan HIV dan populasi kunci sebagai paralegal di Jakarta.
Indonesia menerapkan hukuman mati untuk pelanggaran terkait narkoba, membuat orang yang menggunakan narkoba menjauh dari HIV dan layanan vital lainnya seperti program harm reduction untuk mantan pengguna narkoba. Jakarta adalah salah satu daerah yang paling terkena dampak.
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat melatih komunitas dari populasi kunci seperti LSL, waria, pekerja seks dan pengguna narkoba untuk memberikan pendidikan hukum kepada rekan-rekan mereka dan mendukung pengacara yang mewakili kelompok ini. Ketika seseorang ditangkap karena pelanggaran terkait narkoba, atau penggerebakan kelompok gay, paralegal mengikuti petugas dan tahanan yang ditangkap ke kantor polisi tempat mereka untuk membantu menegosiasikan akses ke pengobatan HIV atau rehabilitasi penggunaan narkoba.
Mereka juga dilatih untuk mendokumentasikan kasus-kasus individual, yang membantu pembebasan tahanan dan mendukung konsultasi dengan pengacara yang mewakili mereka di pengadilan. Para paralegal juga menyelenggarakan lokakarya untuk membantu komunitas dari populasi kunci untuk mengatasi stigma dan lebih memahami hak-hak hukum mereka.
Oleh: Bob
No Comment
You can post first response comment.