Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 25 Mei kemarin, menyatakan tidak akan lagi mengkategorikan transgender sebagai “gangguan mental,” melainkan sebagai “ketidaksesuaian gender.” Dan, ketidaksesuaian gender juga dimasukkan ke dalam bab tentang kesehatan seksual, dan bukan lagi sebagai “gangguan mental” seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya. Seperti yang dilansir dari Time.
Para aktivis transgender berharap bahwa ICD-11 akan segera diberlakukan oleh 194 negara anggota WHO selama tiga tahun ke depan. Dan kita berharap ini juga akan segera diterapkan di Indonesia, bukan? Di beberapa negara, transgender memang diberlakukan sebagai orang dengan gangguan mental. Menurut Kyle Knight, seorang peneliti dalam progam hak LGBT di Human Rights Watch, negara harus berperan untuk segera menerapkan resolusi baru dari WHO tersebut, guna mengikis stigma pada kelompok transgender.
“Kami telah mewawancarai orang-orang transgender di Jepang, Kazakhstan, Ukraina dan Indonesia, dan kebanyakan dari mereka tidak ingin repot-repot mengubah jenis kelamin mereka secara legal, karena itu berarti mereka harus pergi menemui seorang psikiater yang akan memberi tahu mereka bahwa mereka mengidap gangguan mental; sesuatu yang mereka rasa tidak sesuai dengan realitas mereka sendiri,” kata Knight. Lagipula, orang tidak merasa bahwa identitas gender mereka adalah sesuatu yang dapat didiagnosis atau membutuhkan diagnosis.
Kekerasan Terhadap Waria di Indonesia
Stigma memang bisa sangat berbahaya, apalagi jika stigma tersebut diiringi dengan praktek kekerasan, seperti yang dialami dua waria di Bekasi pada 2018 kemarin. Di mana keduanya dipukuli oleh sekelompok pemuda berseragam putih yang membawa tongkat besi. Mereka dikejar, dipukuli, digunduli dan salah seorang di antaranya ditelanjangi oleh puluhan orang yang juga melecehkan mereka dengan kalimat-kalimat bernada kebencian.
Hal ini terungkap dalam kesaksian tertulis yang disampaikan kepada VOA dan dibenarkan oleh beberapa aktivis. Sayangnya pada saat kejadian, tidak ada satupun warga setempat yang memberikan pertolongan. Sejumlah warga, tukang ojek dan karyawan sebuah restoran di lokasi itu baru berani mendekat dan memberikan pakaian ketika kelompok penyerang sudah pergi. Vina, salah seorang aktivis transgender yang ikut mendampingi kedua korban, mengatakan bahwa keduanya selain mengalami masalah fisik juga sempat trauma. “Kami ingin menyerukan kepada polisi untuk menangkap dan mengadili pelaku, serta memberi perlindungan yang setara kepada kami sebagaimana kepada warga negara lain. Bukankah polisi ini sedianya mengayomi, melindungi semua warga negara?” tuntut Vina.
Sementara peneliti senior Human Rights Watch di Indonesia, Andreas Harsono, juga ikut mendorong ketegasan polisi. “Polisi tak perlu ragu buat bertindak terhadap siapa pun yang melakukan kekerasan terhadap waria. Negara membayar mereka buat melindungi masyarakat dari preman,” tegas Andre.
Usai aksi kekerasan bernuansa kebencian terhadap dua waria di Bekasi, sebuah petisi yang yang menuntut dihentikannya aksi kekerasan terhadap waria, juga menyebutkan beberapa aksi kekerasan yang dialami waria sepanjang tahun 2018, antara lain aksi penggerebekan enam salon di Aceh Utara, pelecehan terhadap tiga waria di Lampung, pelecehan dan tindakan mempermalukan empat waria di Padang dan pengusiran paksa tujuh waria di Klender, Jakarta Timur—termasuk 715 waria yang menjadi korban kekerasan di tahun 2017.
Oleh: STR
No Comment
You can post first response comment.