Kelompok transgender (waria) adalah salah satu kelompok yang paling terpengaruh oleh epidemi HIV dan juga lebih mungkin hidup dengan HIV daripada populasi masyarakat umum. Istilah transgender mengacu pada orang yang identitas dan ekspresinya berbeda dengan harapan sosial dari jenis kelamin biologis mereka saat lahir. Transgender mungkin melihat diri mereka sebagai laki-laki, perempuan, gender non-konformis, atau salah satu dari spektrum gender lain. Orang transgender memiliki orientasi dan perilaku seksual yang beragam.

Waria dan HIV di Indonesia memiliki kedekatan historis. Pada 1983, Profesor Zubairi Djoerban, salah seorang dokter Indonesia pertama yang merintis penelitian mendalam terhadap HIV, melakukan penelitian pada kalangan waria di Pasar Rumput, Jakarta. Dari 15 orang yang diperiksa, 3 di antaranya memenuhi kriteria diagnosis AIDS, ditandai dengan penurunan kadar sel CD4 dalam tubuhnya, yang menjadi ciri khas orang yang terinfeksi virus HIV.

Menurut data terbaru dari aidshealth.org, tercatat setidaknya ditemukan 30-40% waria yang terinfeksi HIV di Indonesia. Apa yang membuat perempuan transgender (orang yang secara biologis laki-laki tetapi mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan) atau yang lebih dikenal sebagai waria berisiko terinfeksi HIV?

 

Diskriminasi Sosial, Ekonomi dan Hukum

Di seluruh dunia, transgender mengalami tingkat stigma, diskriminasi, kekerasan dan pelecehan berbasis gender, marginalisasi dan pengucilan sosial. Hal ini membuat transgender kurang atau mungkin tidak dapat mengakses layanan, juga merusak kesehatan dan kesejahteraannya, sehingga kemudian menempatkannya pada risiko HIV yang lebih tinggi.

Faktor sosial, budaya, hukum, dan ekonomi yang tumpang tindih berkontribusi mendorong komunitas transgender menjauh dari masyarakat. Tidak sedikit dari transgender yang putus sekolah, harus kabur dari keluarga dan menghadapi diskriminasi di tempat kerja – yang kemudian membatasi kesempatan pendidikan dan kualitas ekonomi.

 

Profesinya Sebagai Pekerja Seks

Akibat diskriminasi sosial dan kurangnya kesempatan kerja, menjadi pekerja seks seringkali menjadi pilihan alternatif bagi perempuan transgender. Tidak sedikit yang terlibat dalam pekerjaan ini. Data menunjukkan bahwa prevalensi HIV lebih tinggi untuk pekerja seks transgender perempuan dibandingkan dengan pekerja seks perempuan non-transgender.

Pengetahuan dan penggunaan kondom yang dilaporkan umumnya rendah di antara pekerja seks transgender. Di Asia dan Pasifik, hanya 50% pekerja seks transgender yang sadar akan HIV, dan hanya 50% dilaporkan menggunakan kondom secara konsisten dengan klien dan pasangan tetapnya.

Selain itu, biaya tinggi terkait dengan perawatan transisi (misalnya perlengkapan kosmetika dan perawatan payudara) dapat memberikan tekanan ekstra pada komunitas transgender untuk menghasilkan uang. Pekerja seks ini kadang-kadang dibayar lebih untuk mau berhubungan seks tanpa kondom, dan sering merasa di bawah tekanan untuk tidak menggunakan kondom, yang membuatnya sangat rentan terhadap HIV.

Kebijakan HIV dan AIDS juga belum berperspektif gender, artinya banyak pelayanannya yang belum ramah gender. Masih banyak terlontar pernyataan-pernyataan yang diskriminatif dari petugas kesehatan. Itulah kenapa saat ini pelatihan untuk petugas kesehatan di layanan primer di hampir semua kabupaten kota di Indonesia sering dilakukan oleh kementerian kesehatan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Salah satunya adalah untuk memberikan pemahaman bagaimana memberikan pelayanan kesehatan yang lebih ramah terhadap berbagai macam spektrum gender seperti komunitas gay dan waria.

 

Program Pencegahan HIV untuk Komunitas Waria

Beberapa LSM nasional dan lokal juga melatih kelompok waria untuk mendidik rekan-rekan mereka tentang pencegahan HIV; termasuk menyediakan komoditas pencegahan seperti kondom dan pelumas, berkampanye untuk akses yang lebih baik ke layanan kesehatan, dan menghubungkan orang dengan layanan HIV ramah waria. Hal ini telah terbukti efektif menjangkau dan melibatkan populasi secara signifikan dalam mengurangi tingkat penularan HIV.

Strategi pencegahan ini bekerja atas dasar bahwa ada rasa kepercayaan yang meningkat antara komunitas sesama waria dalam upaya menurunkan ketakutan stigma. Organisasi yang dikelola sendiri oleh komunitas juga lebih kredibel karena dapat diakses secara mudah dan mampu memberikan manfaat yang besar bagi para penerima manfaat.

 

Oleh: Om Bob

No Comment

You can post first response comment.

Leave A Comment

Please enter your name. Please enter an valid email address. Please enter a message.