Tahukah kamu bahwa tanggal 18 Desember kemarin adalah International Migrant Day? Apakah kamu juga tahu bahwa pekerja migran, secara khusus menjadi salah satu sasaran dalam kegiatan penjangkauan HIV AIDS di Indonesia? Masih dalam nuansa peringatan Hari Migran Internasional, tulisan kali ini akan membahas buruh migran dan kerentanannya terpapar HIV AIDS.
HIV AIDS di kalangan pekerja migran
Data HIV dan AIDS di kalangan pekerja migran Indonesia hingga saat ini belum banyak tersedia, namun pada tingkat regional, UNAIDS (2008) memperkirakan bahwa pekerja migran laki-laki dan perempuan Asia dan pasangan mereka memiliki prevalensi HIV empat kali lebih tinggi dari prevalensi normal yang ditemukan pada rekan-rekan mereka.
Himpunan Pemeriksa Tenaga Kerja Indonesia (HIPTEK) mendapati bahwa dari 145.289 calon pekerja migran yang pergi ke Timur Tengah pada tahun 2005, 160 (0,11%) di antaranya terdiagnosis dengan HIV-positif.
Penyebab kerentanan pekerja migran atas HIV AIDS
Migrasi bukanlah faktor penyebab langsung, tetapi terdapat kaitan antara epidemi HIV dengan kelompok pekerja migran. Kaitan tersebut umumnya karena kondisi-kondisi yang terjadi sepanjang perjalanan migrasi dan kurangnya perlindungan yang diberikan kepada pekerja migran. Peluang kerentanan ini menjadi lebih besar terjadi pada pekerja migran yang bekerja di luar negeri secara ilegal. Selain karena mereka tidak mendapat pemberian informasi secara resmi dari pengelola pekerja migran, mereka juga rentan terjebak dalam praktek perdagangan orang.
Pekerja migran kerap menjadi objek pelanggaran yang terjadi dalam konteks prosedur perekrutan, pekerjaan yang bersifat tidak aman di luar negeri, akses yang terbatas untuk mendapatkan layanan informasi, dukungan konseling dan test HIV yang belum memenuhi kaidah, perawatan medis, sistem rujukan penanganan bagi pekerja migran HIV, eksploitasi, diskriminasi dan penganiayaan, yang dikombinasikan dengan rendahnya kesadaran akan HIV AIDS di kalangan pekerja migran – menempatkan pekerja migran rentan terhadap HIV AIDS.
Upaya yang dilakukan untuk pekerja migran
Pemerintah melakukan bermacam upaya pencegahan baik di negara tempat tujuan pekerja migran, negara tempat transit maupun di desa dan lokasi tempat pelatihan para calon pekerja migran, dengan memberikan penyuluhan mengenai HIV AIDS.
Sarana kesehatan atau klinik pelaksana tes kesehatan juga menjadi wilayah yang perlu dijangkau untuk menjamin tersebarnya informasi pencegahan HIV dan AIDS kepada calon pekerja migran (melalui pelaksanaan konseling). Secara khusus, implementasi tes HIV menerapkan Keputusan Menteri Kesehatan nomor 029/MENKES/SK/I/2008 tentang Pedoman Penatalaksanaan Konseling dan Testing HIV bagi CTKI di semua tempat pelaksana tes kesehatan bagi pekerja migran (seperti klinik anggota HIPTEK, GAMCA). Klinik pelaksana tes kesehatan ini umumnya berada di daerah transit yaitu kota-kota yang menjadi tempat pemberangkatan langsung ke luar negeri.
(Foto diambil dari modul pelatihan yang dibuat antara ILO dan dan pemerintah Indonesia yang bisa diunduh di sini https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/publication/wcms_249791.pdf
Beberapa jenis peluang kerentanan yang dialami pekerja migran
Pada tahap sebelum keberangkatan, kerentanan yang mungkin dialami pekerja migran antara lain:
- Kurangnya sosialisasi dan informasi mengenai kondisi di negara tujuan, terutama terkait HIV dan AIDS
- Situasi dan kondisi penampungan yang memungkinkan perilaku seks tidak aman atau terjadi pelecehan seksual oleh oknum agen PPTKIS (dulu PJTKI)
- Proses rekrutmen yang ilegal atau tidak sesuai prosedur yang benar, sehingga berpeluang menjerumuskan calon TKI/TKI ke dalam perdagangan manusia/human trafficking. Perdagangan manusia tidak melindungi hak-hak TKI sedikit pun – sehingga TKI terancam terjerumus dalam perilaku berisiko terkena HIV. Keadaan dipaksa menjadi pekerja seks, misalnya.
Pada tahap penempatan, kerentanan yang mungkin dialami antara lain:
- Kondisi di negara tujuan/tempat kerja yang memungkinkan perilaku yang berisiko terkena HIV. Contoh: di negara tertentu, ada perusahaan menyediakan jasa PSK untuk menghibur TKI setelah bekerja. Contoh lain: lingkungan kerja yang memungkinkan terjadi pelecehan seksual atau bahkan perkosaan bagi TKI perempuan, di sektor domestik atau informal (pembantu rumah tangga, dan lain sebagainya).
- Adanya kebutuhan menyalurkan dorongan seks ketika berjauhan dengan pasangan. Hal ini sesungguhnya sangat manusiawi, apalagi umumnya TKI berada pada usia reproduktif, di mana dorongan seks sedang tinggi-tingginya. Namun masalahnya, dorongan seks tanpa disertai pengetahuan memadai tentang HIV dan AIDS dapat meningkatkan risiko terpapar HIV.
Kerentanan yang dialami pekerja migran pada tahap kedatangan:
- TKI yang baru pulang dari luar negeri seringkali menjadi sasaran kejahatan, mulai dari penipuan, pemerasan, perampokan, pelecehan seksual hingga pemerkosaan.
- TKI juga mengalami kerentanan terhadap HIV karena tidak tahu apakah pasangannya sudah berhubungan seks tidak aman atau tidak selama ditinggal ke luar negeri. Padahal suami atau istri yang terpapar HIV (melalui perilaku seks tidak aman di luar pernikahan) dapat memaparkan HIV kepada pasangannya.
- TKI yang berperilaku berisiko sehingga terpapar HIV di luar negeri juga rentan memaparkan HIV kepada pasangannya di rumah tanpa disadari. Hal ini karena sewaktu di luar negeri TKI tersebut masih berada pada tahap jendela (window period) atau tanpa gejala.
Info tadi menunjukkan pentingnya pemberian informasi pada siapapun yang ingin bekerja menjadi pekerja migran ke luar negeri, dan bahkan justru lebih penting lagi diberikan bagi para pekerja migran yang berstatus ilegal karena lebih rentan mengalami situasi yang membuat mereka terpapar HIV AIDS. Kalo kamu, apakah kamu punya kenalan yang pernah, sedang atau akan menjadi pekerja migran? Yuk share informasi ini pada mereka supaya mereka bisa lebih waspada dan hati-hati dalam bekerja.
Oleh: NQ
No Comment
You can post first response comment.